A. Pengertian
Qiyas
Dilihat dari segi bahasa qiyas yang berasal dari bahasa Arab ini
berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan
sesuatu dengan yang lain.
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan para pakar ushul fikih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan Shadr asy-Syari'ah
(w. 747 H/1346 M, tokoh ushul fikih Hanafi).
تعدّية
الحكم من الأصل إلى الفرع لعلة متحدة لا تدرك بمجرد اللغة. [2]
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illah
yang tidak dapat dicapai melalui hanya dengan pendekatan bahasa.
Maksudnya, 'illah yang ada pada satu nas sama dengan 'illah yang
ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang pakar, dan karena kesatuan 'illah ini, maka hukum dari kasus yang sedang
dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nas tersebut.
Mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
حمل
غير معلوم على معلوم فى إثبات الحكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو
صفة.[3]
Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Saifuddin al-Amidi mendefinisikan qiyas dengan :
عبارة
عن الإستواء بين الفرع والأصل فى العلة المستنبط من حكم الأصل [4]
Mempersamakan ‘illah yang ada pada furu’dengan ‘illah yang ada pada
asa}l yang diistinbat}kan dari hukum as}al.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan
إلحاق
أمر غير منصوص على حكمه الشرعى بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم[5]
Menyatukan
sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya oleh nas, disebabkan kesatuan ‘illah hukum antara keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan
para pakar ushul fikih klasik dan kontemporer di atas tentang qiyas, tetapi
mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah
menetapkan hukum dari awal [itsbat al-hukm wa Insya’uhu], melainkan
hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum [al-kasyf wa al-izhhar li al-hukm]
yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.[6]
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan
melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illah dari suatu kasus
yang sedang dihadapi. Apabila ‘illah-nya sama dengan ‘illah hukum
yang disebutkan dalam nas, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu
adalah hukum yang telah ditentukan nas tersebut.
Misalnya, seorang pakar ushul fikih [mujtahid] ingin mengetahui hukum
minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat,
kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada
khamar. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi ‘illah diharamkannya
khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat [5: 90-91]. Dengan
demikian, pakar tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama
dengan hukum khamar, karena ‘illah keduanya adalah sama, yakni
memabukkan. Kesamaan illah antara kasus yang tidak ada nasnya. dengan
hukum yang ada nasnya dalam Alquran atau Hadis, menyebabkan adanya
kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan para pakar ushul fikih bahwa penentuan
hukum melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum sejak semula,
tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang dihadapi dan
mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nas, disebabkan kesamaan '‘illah
antara keduanya.
Dalam contoh lain, Rasulullah SAW bersabda :
لا
يرث القاتل
Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan. (H.R. al-Nasa'i dan al-Baihaqi)
Menurut hasil penelitian pakar yang menjadi ‘illah tidak
berhaknya pembunuh menerima warisan dari harta pewaris yang ia bunuh adalah
upaya mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illah seperti
ini terdapat juga dalam kasus seseorang membunuh orang yang telah menentukan
wasiat baginya. Oleh karena itu, pembunuh orang yang berwasiat (al-was}i), dikenakan
hukuman yang sama dengan hukum orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu
sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan harta wasiat.
B. Rukun Qiyas
Para pakar
ushul fikih menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: as}l [wadah
hukum yang ditetapkan melalui nas atau ijma>’], far'u [kasus
yang akan ditentukan hukumnya], 'illah [motivasi atau alasan adanya hukum] yang
terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada as}l, dan h}ukm al-as}l [hukum yang telah ditentukan oleh nas atau
ijma>’].[7]
1. As}l [الأصل],
menurut para pakar ushul fikih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya
oleh ayat Alquran, hadis Rasulullah saw atau ijma’. Misalnya, pengharaman wisky
dengan cara mengqiyaskannya kepada khamar. As}l itu adalah khamar
yang telah ditetapkan hukumnya melalui nas. Menurut para pakar ushul
fikih khususnya dari kalangan mutakallimin yang dikatakan al-as}l itu
adalah nas yang menentukan hukum, karena nas inilah yang akan
dijadikan patokan penentuan hukum furu>'. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan
pada khamar, maka yang menjadi as}l menurut mereka adalah ayat yang
terdapat pada Q.S. [5: 90-91];
2. Far'u [الفرع] adalah
objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nas atau ijma' yang tegas
dalam menentukan hukumnya sebagaimana wisky dalam kasus di atas.;
3. ‘Illah [العلة] adalah sifat yang
menjadi motif atau motivasi dalam menentukan hukum. Dalam kasus khamar di atas
‘illah-nya adalah memabukkan.
4. H}ukm al-As}l [حكم الأصل]
adalah hukum syarak yang ditentukan oleh nas atau ijma’ yang akan
diberlakukan kepada far'u, seperti keharaman meminum khamar. Adapun
hukum yang ditetapkan pada far'u pada dasarnya merupakan buah [hasil]
dari qiyas dan oleh karena itu tidak termasuk rukun.
C. Kehujjahan
Qiyas
Para pakar
ushul fikih berbeda pendapat dalam memandang kehujjahan qiyas untuk
digunakan dalam menetapkan hukum syarak. Mayoritas pakar ushul fikih
berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk
mengistinbat}kan hukum syarak,[8] bahkan lebih dari itu, sya>ri’ pun
menuntut untuk melakukan qiyas.
Berbeda dengan
Jumhur, para pakar Mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan
hanya dalam dua hal :
1.
‘Illah-nya harus
mans}u>s} [disebutkan dalam nas] baik secara nyata maupun melalui
isyarat. Misalnya, dalam suatu hadits Rasulullah :
Dahulu saya
melarang kamu menyimpan daging kurban untuk kepentingan ad-da>ffah (para
tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging kurban),
sekarmg simpanlah daging itu. (H.R.
Muslim, al-Nasai, at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibn Majah).
Dalam hadits
ini, Rasulullah saw secara tegas menunjukkan bahwa ‘illah dari perintah
menyimpan daging kurban itu adalah untuk kepentingan masyarakat Badui yang
miskin yang datang dari perkampungan mereka untuk meminta daging kurban. Ketika
masyarakat Badui itu tidak membutuhkan lagi, maka Rasulullah saw mempersilakan
untuk menyimpan daging itu lagi. Artinya ketika ‘illah hukum sudah
hilang, maka hukum pun hilang.
2. Hukum far'u harus lebih utama
daripada hukum as}l. Misalnya, mengqiyaskan hukum memukul
kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan "ah" kepada keduanya, karena
keduanya sama-sama bersifat menyakiti bagi kedua orang tua. Dalam hubungan ini,
menurut mereka, pemukulan lebih berat hukumnya dibanding dengan mengatakan
"ah".
Para pakar
hukum dari kalangan Z}ahiriyyah, termasuk Imam al-Syaukani [pakar ahli ushul
fikih dari kalangan Syafi’iyyah] berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang
dibolehkan, tetapi tidak ada satu nas pun dalam ayat Alquran yang
menyatakan wajib melaksanakannya.[9] Argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat mayoritas para
pakar ushul yang mewajibkan pengamalan qiyas.
Ulama Syi'ah
Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu'tazilah[10] menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan
landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas
adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
Setelah
mengemukakan berbagai pendapat pakar ushul fikih tentang kehujahan qiyas, Wahbah
al-Zuhaili[11] menyimpulkan bahwa pendapat itu bisa dipilah
ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai metode
atau dalil hukum yang dianut mayoritas pakar ushul fikih dan kelompok yang
menolak qiyas sebagai metode atau dalil hukum, yakni para pakar ushul Syi'ah,
an-Nazza>m, Z}ahiriyyah dan ulama Mu'tazilah dari Irak.
Alasan penolakan
qiyas sebagai metode atau dalil dalam menetapkan hukum syarak menurut kelompok
yang menolaknya adalah :
a. Firman Allah dalam Q.S. [49: 1] yakni :
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul…
Ayat ini menurut mereka, melarang seseorang untuk
beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam Alquran dan Sunnah Rasul.
Mempedomani qiyas, merupakan sikap beramal dengan sesuatu di luar Alquran
dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu hal ini dilarang. Selanjutnya dalam Q.S. [17:
36] disebutkan :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya
Ayat ini,
menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak
diketahui secara pasti, dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak
pasti. Oleh karena itu, berdasarkan ayat tersebut dilarang mengamalkan qiyas.
Dalam ayat lain, Q.S. [10: 36] Allah berfirman :
Sesungguhnya persangkaan [az}-z}ann] itu tiada berfaidah
sedikitpun terhadap kebenaran.
Menurut
mereka, qiyas itu bersifat z}ann [persangkaan], dan tidak berguna
jika digunakan untuk menetapkan hukum.
b. Alasan-alasan mereka dari Sunnah
Rasulullah saw, antara lain adalah sebuah riwayat yang mengatakan :
Sesungguhnya Allah Ta’ala
menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan menentukan beberapa
batasan, jangan kamu langgar,- Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar
larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa
unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu. [H.R. ad-Daruquthni]
Hadis ini,
menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib, adakalanya
haram, dan adakalanya hanya didiamkan, yang hukumnya berkisar antara dimaafkan
dan mubah} [boleh]. Apabila diqiyaskan sesuatu yang
didiamkan syarak kepada wajib, maka berarti telah menetapkan hukum wajib kepada
sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan.
c.
Mereka juga beralasan dengan sikap
sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya
bersikap diam atas celaan sahabat tersebut. Hal ini, menurut mereka,
menunjukkan bahwa para sahabat secara diam-diam sepakat (ijma>' suku>ti)
untuk mencela qiyas. Umar ibn al-Khaththab sendiri pernah berkata,
"Hindarilah orang-orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa alasan,
karena mereka itu termasuk musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang
menggunakan qiyas. Kisah ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad yang
menurut para pakar hadis periwayatannya munqat}i' [terputusnya para penutur hadis].
Mayoritas para
pakar ushul fikih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam
menetapkan hukum syarak mengemukakan beberapa alasan, baik dari ayat-ayat Alquran,
Sunnah Rasul, maupun dari ijma>' logika.
Alasan-alasan itu di antaranya adalah:
a.
Ayat yang mereka jadikan alasan
adalah firman Allah dalam Q.S. [59: 2] :
Maka ambillah (kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Menurut
mayoritas pakar ushul fikih bahwa ayat ini berbicara tentang hukuman Allah
terhadap kaum kafir dari Bani Nadir kare4na buruknya sikap mereka terhadap
Rasulullah saw. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan
kisah ini sebagai i’tiba>r [pelajaran]. Mengambil pelajaran dari satu
peristiwa, menurut mayoritas pakar ushul adalah termasuk qiyas. oleh
karena itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan i’tiba>r
adalah dibolehkan, bahkan Alquran memerintahkan melakukan qiyas.
Firman Allah
lainnya yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung ‘illah
sebagai penyebab munculnya hukum tersebut. Misalnya dalam Q.S. [2: 179] :
Dan dalam
qis}a>s} itu ada [jaminan kelangsungan] hidup bagimu….
Begitu juga
dalam Q.S. [2: 222] :
Mereka
bertanya kepadamu [Muhammad] tentang haid. Katakanlah “haid itu adalah kotoran.
Oleh karena itu, hendaklah kamu menjawab diri dari wanita di waktu haid.
Dalam
mengharamkan khamar, Allah berfirman dalam Q.S. [5: 91] :
Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu,
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu) .
Seluruh ayat
itu, menurut mayoritas pakar ushul fikih secara nyata menyebutkan ‘illah yang
menjadi penyebab munculnya hukum. Inilah makna qiyas, yaitu ketika
muncul suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nas, maka
diwajibkan mencari ‘illah kasus tersebut untuk membandingkannya dengan ‘illah
hukum yang ada dalam nas, dan apabila ternyata ‘illahnya sama,
maka hukum yang ada dalam nas itu dapat diterapkan pada kasus tersebut.
Menurut mayoritas
pakar ushul fikih yang membolehkan qiyas sebagai hujah dalam menetapkan
hukum syarak, bukan berarti membuat hukum baru yang ditetapkan berdasarkan qiyas
itu, tetapi menyingkap ‘illah yang ada pada suatu kasus dan
menyamakannya dengan ‘illah yang terdapat dalam nas. Atas dasar
kesamaan ‘illah ini, hukum kasus yang dihadapi tersebut disamakan dengan
hukum yang telah ditentukan oleh nas.
b. Alasan mayoritas pakar ushul fikih dari
hadis Rasulullah saw di antaranya adalah riwayat dari Mu'adz ibn Jabal yang
amat populer. Ketika itu, Rasulullah saw mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qa>d}i
[Hakim]. Rasulullah saw melakukan dialog singkat dengan Mu'adz, seraya
bersabda :
''Bagaimana cara kamu
memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?" Mu'adz ibn Jabal
menjawab, “Saya akan cari hukumnya dalam Kitabullah (Alquran).” Kemudian
Rasulullah melanjutkan pertanyaannya, "Jika tidak kamu temukan hukumnya
dalam Kitabullah?" Jawab Mu'adz, "Saya akan cari dalam Sunnah
Rasulullah." Selanjutnya Rasulullah bertanya, Jika dalam Sunnah Rasulullah
saw juga tidak engkau temukan hukumnya?" Jawab Mu Mu'adz, "Saya akan
berijtihad sesuai dengan pendapat saya." Lalu Rasulullah saw mengusap
dada Mu'adz, seraya berkata, "Alhamdulillah tindakan utusan Rasulullah
telah sesuai dengan kehendak Rasulullah." (H.R. Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud,
al-Tirmidzi, al-Thabrani, al-Darimi dan al-Baihaqi).
Menurut
mayoritas pakar ushul fikih, Rasulullah saw mengakui ijtihad berdasarkan
pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Dalam hadits
lain Rasulullah saw juga menggunakan metode qiyas dan menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu ketika, seseorang menemui Rasulullah
saw dan ia berkata :
"Ayah saya telah masuk
Islam, dia seorang yang sudah sangat tua sehingga tidak mampu untuk mengendarai
(unta) guna melakukan perjalanan dalam upaya melaksanakan ibadah haji yang
diwajibkan. Apakah saya boleh menghajikannya?. Rasulullah berkata, "Engkau
anak laki-lakinya yang terbesar?. Jawab laki-laki itu, "Benar."
Kemudian Rasulullah berkata, “Bagaimana pendapat engkau, andaikata ayahmu itu
mempunyai utang pada orang lain, lalu engkau akan membayarnya, apakah utang itu
dianggap lunas?”. Lelaki itu menjawab, "Ya." Lalu Rasulullah saw.
bersabda, “Jika demikian, maka hajikanlah ayahmu itu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Nasa'i dari Ibn
'Abbas).
Dalam riwayat
lain Umar ibn al-Khaththab suatu hari mendatangi Rasulullah saw seraya berkata,
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar; saya mencium istri
saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar
:
Bagaimana
pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu
batal? Umar menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah saw berkata, “Kalau begitu,
kenapa engkau sampai menyesal”. (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar ibn al-Khaththab).
Mayoritas
pakar ushul fikih menyatakan bahwa dalam kedua hadis di atas secara jelas
Rasulullah saw menjawab permasalahan yang diajukan kepadanya dengan metode qiyas.
Dalam masalah haji di atas, Rasulullah saw mengqiyaskan haji
kepada kewajiban membayar utang. Dalam hadis Umar ibn al-Khaththab, Rasulullah
saw mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur-kumur yang keduanya
sama-sama tidak membatalkan puasa.
c. Alasan lain yang dikemukakan mayoritas
pakar ushul fikih adalah ijma’para sahabat.
Dalam
praktiknya, para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu Bakar
tentang masalah kala>lah, yang menurutnya adalah orang yang tidak
mempunyai ayah dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu Bakar
berdasarkan pendapat akalnya, dan qiyas termasuk ke dalam pendapat akal.
Dalam sebuah
kisah yang amat populer, Umar ibn al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa
al-Asy'ari[12] ketika ia ditunjuk menjadi hakim di Bashrah, Irak. Dalam suratnya yang
panjang itu Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak
ditemukan hukumnya dalam nas, agar Abu Musa menggunakan qiyas [kisah
ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ahmad ibn Hanbal, dan ad-Daruquthni).
Menurut
mayoritas pakar ushul fikih, baik terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap
sikap Umar ibn al-Khaththab di atas, tidak satu orang sahabat pun yang
membantahnya.
d.
Secara logika, menurut mayoritas
pakar ushul fikih, bahwa hukum Allah mengandung kemaslahatan untuk umat manusia
dan untuk itulah disyariatkannya hukum. Apabila seorang mujtahid menemukan
kemaslahatan yang menjadi ‘illah dalam suatu hukum yang ditentukan oleh
nas dan terdapat juga dalam kasus yang sedang dicarikan hukumnya, maka mujtahid
tersebut menyamakan hukum kasus yang dihadapinya dengan hukum yang ada pada nas
tersebut. Dasarnya adalah ada kesamaan ‘illah antara keduanya.
D. Syarat-Syarat Qiyas
Para ulama
ushul fikih mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas yang telah dipaparkan
di atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas dapat
dijadikan metode atau dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah
sebagai berikut : [13]
1. As}l
Patokan dalam
penetapan hukum adakalanya nas dan adakalanya melalui ijma>'.
Oleh karena itu, menurut mayoritas pakar ushul fikih, apabila hukum yang
ditetapkan berdasarkan nas bisa diqiyaskan, maka hukum
yang ditetapkan melalui ijma>' pun boleh diqiyaskan. Menurut
Imam al-Ghazali [450-505 H/805-1111M] dan Saifuddin al-Amidi [keduanya pakar
ushul fikih Syafi'iyyah], syarat-syarat as}l itu adalah :
a. Hukum as}l itu adalah hukum yang
telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinaskhkan [diganti
atau dibatalkan];
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syarak;
c. As}l
itu bukan merupakan dari as}l lainnya;
d. Dalil yang menetapkan ‘illah
pada as}l itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum;
e. As}l itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas,
dan
f. Hukum as}l itu tidak keluar dari
kaidah-kaidah qiyas.
2. H}ukm al-As}l
Menurut mayoritas
pakar ushul fikih syarat-syarat h}ukm al-as}l adalah :
a. Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak
bisa dikembangkan kepada far'u, misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan
:
Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah
cukup. (H.R. Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, at-Tirmidzi dan an-Nasa'i)
Ayat Alquran Q.S. [2:
282] menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki
atau satu orang laki-laki bersama dua orang wanita. Rasulullah saw melakukan
hal yang berbeda dan menyatakan bahwa apabila Khuzaimah [sahabat] yang menjadi
saksi, maka cukup sendirian. Hukum kesaksian secara khusus ini tidak bisa
dikembangkan dan diterapkan kepada far'u, karena hukum ini hanya berlaku
untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi
Rasulullah saw, seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
b. H}ukm al-as}l itu tidak keluar dari
ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan
berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan
kepada hukum itu. Menurut Wahbah Zuhaili hal ini bisa terjadi dalam dua hal,
yaitu : [14]
1) Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar
[gair ma'qu>l al- ma'na>], seperti kasus kesaksian
Khuzaimah di atas;
2) Hukum itu merupakan hukum pengecualian yang
disyariatkan sejak semula, seperti adanya rukhs}ah [keringanan hukum]
bagi musafir untuk menjamak [mengqas}r] salat atau berbuka puasa
untuk menghilangkan kesulitan atau seperti menentukan pembayaran diyat pembunuhan
bagi al-'a>qilah [keluarga terdekat atau 'ashabah pembunuh].
c. Tidak ada nas yang menjelaskan hukum far'u
yang akan ditentukan hukumnya. Apabila h}ukm al-as}l mencakup hukum as}l
pada satu pihak dan hukum far'u pada pihak lain, maka dalil yang
mengandung h}ukm al-as}l juga merupakan dalil bagi hukum far'u itu.
Dalam kasus seperti ini tidak diperlukan qiyas.
d. H}ukm al-as}l itu lebih dahulu
disyariatkan dari far'u. Dalam kaitan dengan ini, tidak boleh mengqiyaskan
wudhu pada tayamum, sekalipun ‘illahnya sama. Hal ini
disebabkan syariat wudhu lebih dahulu turun dari syariat tayammum.
3. Far'u
Para ulama
ushul fikih mengemukakan empat syarat yang harus diperoleh al-far'u, yaitu:
a. ‘Illahnya sama dengan
‘illah yang ada pada as}l, baik pada zatnya maupun pada
jenisnya. Contoh ‘illah yang sama zatnya adalah mengqiyaskan
narkotika/narkoba, dan minum-minuman keras pada khamar, karena pada semuanya adanya
zat yang dapat memabukkan, sehingga sedikit atau banyak diminum hukumnya haram.
(H.R. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud, at-
Tirmidzi, Ibn Majah dan an-Nasa'i).
Tirmidzi, Ibn Majah dan an-Nasa'i).
Contoh yang jenisnya sama
adalah mengqiyaskan wajib qis}a>s} atas perbuatan
sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qis}a>s dalam pembunuhan,
karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
Apabila antara
‘illah yang ada pada far'u tidak sama dengan ‘illah yang ada
pada as}l, maka qiyas seperti ini menurut para pakar ushul fikih disebut
al-qiyas ma'a al-fa>riq [القياس مع الفارق] yakni “qiyas yang bersifat paradoks].
b. Hukum as}l tidak
berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan
hukum menz}iha>r [menyerupakan istri dengan punggung ibu] wanita z\immi kepada menz}iha>r wanita muslimah
dalam keharaman melakukan hubungan suami
istri. Karena keharaman hubungan suami istri dalam menz}iha>r istri
yang muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kaffa>rat,
sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus z\immi
bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani hukum membayar kaffa>rat,
dan kaffa>rat merupakan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk
beribadah.
Apabila qiyas ini
ditetapkan, maka menurut pakar ushul Hanafiyyah, hukum as}l itu bisa
berubah, dan ini
tidak boleh. Oleh karena itu, menz}iha>r istri yang berstatus z\immi
menurut pakar ushul Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi, menurut pakar ushul Syafi'iyyah, hukumnya sah karena orang z\immi boleh dikenakan kafarat.
tidak boleh. Oleh karena itu, menz}iha>r istri yang berstatus z\immi
menurut pakar ushul Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi, menurut pakar ushul Syafi'iyyah, hukumnya sah karena orang z\immi boleh dikenakan kafarat.
c. Hukum far'u tidak
mendahului hukum as}l. Artinya,
hukum far'u itu harus datang kemudian dari hukum as}l. Contohnya adalah dalam masalah wudhu dan
tayammum di atas.
d. Tidak ada nash atau ijma>
' yang menjelaskan hukum far'u itu. Artinya tidak ada nas atau ijma> ' yang menjelaskan hukum far'u dan hukum itu tidak bertentangan dengan qiyas,
karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nas
atau ijma>'. Qiyas yang bertentangan dengan nas atau
ijma>', disebut para pakar ushul fikih sebagai qiyas fa>sid [قياس فاسد], yaitu
qiyas yang rusak. Misalnya mengqiyaskan
hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya
musafir tidak berpuasa, karena qiyas
ini bertentangan dengan nas dan ijma>'.
4. ‘Illah
Pembahasan
mengenai syarat-syarat yang terkait dengan ‘illah akan dibahas
tersendiri karena ‘illah di kalangan pakar ushul fikih dan persoalan
yang menyangkut dengannya cukup luas.
E. Pembagian
Qiyas
Para pakar
ushul fikih mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi,
yaitu : [15]
1. Dilihat dari segi kekuatan 'illah yang
terdapat pada furu>’
dibandingkan dengan yang terdapat pada as}l. Dari segi ini qiyas dibagi
kepada tiga bentuk, yaitu :
a. Qiyas al-Aula>wi> yaitu qiyas
yang hukumnya pada
furu’lebih kuat daripada hukum as}l, karena 'illah yang terdapat pada furu’lebih kuat dari yang ada pada as}l. Misalnya, menggiya>skan memukul kepada ucapan "ah." Dalam Q.S. al-Isra>, [17: 23] Allah berfirman :
furu’lebih kuat daripada hukum as}l, karena 'illah yang terdapat pada furu’lebih kuat dari yang ada pada as}l. Misalnya, menggiya>skan memukul kepada ucapan "ah." Dalam Q.S. al-Isra>, [17: 23] Allah berfirman :
..jangan kamu katakan kepada keduanya (orang tua) kata-kata
"ah"…
Para pakar ushul
fikih mengatakan bahwa 'illah larangan ini adalah menyakiti orang tua.
Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan
"ah", karena sifat "menyakiti" melalui pukulan lebih kuat
dari pada ucapan "ah."
b. Qiyas al-Musa>wi>,
yaitu hukum pada furu’sama
kualitasnya dengan hukum yang ada pada as}l, karena kualitas 'illah pada keduanya juga sama. Misalnya, Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa [2: 2] :
kualitasnya dengan hukum yang ada pada as}l, karena kualitas 'illah pada keduanya juga sama. Misalnya, Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa [2: 2] :
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu...
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim
secara tidak wajar. Para pakar ushul fikih, mengqiyaskan membakar
harta anak yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak
yatim dengan cara zhalim.
c. Qiyas al-Adna> yaitu 'illah yang
ada pada furu’lebih lemah dibandingkan dengan 'illah yang ada
pada as}l. Artinya, ikatan 'illah yang ada pada furu’sangat
lemah dibanding ikatan 'illah yang ada pada as}l. Misalnya, mengqiyaskan
apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fad}l, karena keduanya
mengandung 'illah yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadis
Rasulullah saw. dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan
berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fad}l. Dalam hadis tersebut
di antaranya disebutkan gandum. [H.R. Bukhari dan Muslim]. Oleh karena itu,
Imam Syafi'i mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fad}l.
Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan
dengan yang berlaku pada gandum. karena 'illah riba fad}l pada gandum lebih kuat.
2. Dari segi kejelasan 'illah
yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi
kepada dua macam :
a. Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas
yang 'illahnya ditetapkan oleh nas bersamaan dengan
hukum as}l atau nas tidak menetapkan 'illahnya, tetapi
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara as}l dengan furu>'.
Contoh 'illah yang ditetapkan nas bersamaan dengan hukum as}l
adalah mengqiyaskan memukul orang tua kepada ucapan "ah"
yang terdapat dalam Q.S. al-Isra> [17: 23] yang telah disebutkan di
atas, yang 'illahnya sama-sama menyakiti orang tua.
Contoh 'illah yang tidak
disebutkan nas bersamaan dengan hukum as}l adalah mengqiyaskan
budak yang perempuan kepada budak yang laki-laki dalam masalah memerdekakan
mereka. Antara keduanya, sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu perbedaan jenis
kelamin. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa perbedaan ini tidak berpengaruh
dalam hukum memerdekakan budak. Oleh karena itu, apabila seseorang mengatakan
akan memerdekakan budaknya, maka pernyataan itu berlaku sama, baik untuk budak
laki-laki maupun perempuan.
Contoh lain adalah
dalam kasus kebolehan mengqas}ar salat bagi musafir laki-laki dan
wanita. Sekalipun antara keduanya terdapat perbedaan kelamin, tetapi perbedaan
ini tidak berpengaruh atas kebolehan wanita mengqas}ar salat.
Para pakar ushul
fikih menyatakan bahwa qiyas al-jali> ini mencakup qiyas al-aula>wi>
dan qiyas al-musa>wi> dalam pembagian qiyas pertama di
atas.
b. Qiyas al-Khafi> yaitu qiyas yang
'illahnya tidak disebutkan dalam nas. Contohnya, mengqiyaskan
pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam
memberlakukan hukuman qisa>s}, karena ‘illahnya sama-sama
pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘illah
pada hukum as}l yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih kuat
daripada ‘illah yang terdapat pada furu>', yaitu pembunuhan
dengan benda keras. Qiyas al-adna> yang dikemukakan pada pembagian
pertama termasuk ke dalam qiyas al-khafi> ini.
3. Dilihat dari keserasian ‘illah dengan
hukum, qiyas terbagi atas dua bentuk, yaitu :
a. Qiyas al-Mu'as\s\ir yaitu qiyas
yang menjadi penghubung antara as}l dengan furu’ ditetapkan
melalui nas sharih atau
ijma’atau qiyas yang 'ain sifat [sifat itu sendiri] yang menghubungkan as}l dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri. Contoh, yang ditetapkan melalui nas atau ijma’ adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illah "belum dewasa." ‘Illah "belum dewasa" ini ditetapkan melalui ijma>’. Contoh, 'ain sifat yang berpengaruh pada 'ain hukum adalah mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamar [dibuat dari anggur] dengan ‘illah sama-sama "memabukkan." ‘Illah "memabukkan" pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.
ijma’atau qiyas yang 'ain sifat [sifat itu sendiri] yang menghubungkan as}l dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri. Contoh, yang ditetapkan melalui nas atau ijma’ adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illah "belum dewasa." ‘Illah "belum dewasa" ini ditetapkan melalui ijma>’. Contoh, 'ain sifat yang berpengaruh pada 'ain hukum adalah mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamar [dibuat dari anggur] dengan ‘illah sama-sama "memabukkan." ‘Illah "memabukkan" pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.
b. Qiyas al-mula’im, yaitu qiyas yang
‘illah hukum as}lnya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya, mengqiyaskan
pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam yang telah
disebutkan di atas. '‘Illah pada hukum as}l mempunyai hubungan yang serasi.
4. Dilihat dari segi dijelaskan atau
tidaknya 'illah pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi
kepada tiga bentuk, yaitu :
a. Qiyas al-Ma'na> atau qiyas pada
makna as}l, yaitu
qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan 'illahnya, tetapi antara asl dengan furu’tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan as}l. Misalnya, mengqiyaskan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang 'illahnya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zhalim sebagaimana yang dijelaskan di atas.
qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan 'illahnya, tetapi antara asl dengan furu’tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan as}l. Misalnya, mengqiyaskan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang 'illahnya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zhalim sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b. Qiyas al-'Illah, yaitu qiyas yang
dijelaskan 'illahnya
dan 'illah itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum as}l. Umpamanya, mengqiyaskan nabi>z\ [minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur] kepada khamar, karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik pada as}l maupun pada furu’.
dan 'illah itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum as}l. Umpamanya, mengqiyaskan nabi>z\ [minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur] kepada khamar, karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik pada as}l maupun pada furu’.
c. Qiyas ad-dalalah yaitu qiyas yang
'illahnya bukan
pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi 'illah itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya 'illah. Misalnya, dalam kasus mengqiyaskan an-nabi>z\ kepada khamar dengan alasan "bau menyengat" yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan.
pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi 'illah itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya 'illah. Misalnya, dalam kasus mengqiyaskan an-nabi>z\ kepada khamar dengan alasan "bau menyengat" yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan.
5. Dilihat dari segi metode [masa>lik]
dalam menemukan 'illah, qiyas dapat dibagi kepada :
a. Qiyas al-Ikha>lah yaitu yang 'illahnya
ditetapkan
melalui muna>sabah dan ikha>lah;
melalui muna>sabah dan ikha>lah;
b. Qiyas asy-Syabbah yaitu yang 'illahnya
ditetapkan melalui metode syabbah;
c. Qiyas as-Sibru yaitu yang 'illahnya
ditetapkan melalui
metode as-sibr wa at-taqsi>m; dan
metode as-sibr wa at-taqsi>m; dan
d. Qiyas at}-t}ard yaitu yang 'illahnya
ditetapkan melalui
metode t}ard. Contoh-contoh dari qiyas ini telah dikemukakan di atas.
metode t}ard. Contoh-contoh dari qiyas ini telah dikemukakan di atas.
F. Kritik
terhadap Qiyas
Para pakar
ushul fikih mengemukakan beberapa kritikan atas kelemah-an qiyds dalam
menghasilkan suatu hukum dari kasus yang sedang dihadapi. Kritikan terhadap qiyas
tersebut, menurut Fakhruddin al-Razi [pakar ushul fikih Syafi'iyyah), ada
empat bentuk. Menurut Ibn al-Hajib ada dua puluh lima bentuk, tetapi pada
dasarnya bisa dikembalikan pada dua bentuk saja, dan asy-Syaukani mengemukakan
dua puluh delapan bentuk. Akan tetapi, al-Bazdawi mengemukakan bahwa kritikan
terhadap qiyas pada intinya ada dua segi, yaitu muma>na'ah dan
mu’a>rad}ah. Di bawah ini akan dikemukakan tiga bentuk muma>na'ah
dan tiga bentuk mu'a>rad}ah.
1. Man'u al-hukm fi al-as}l. Maksudnya,
seorang mujtahid mengemukakan kritik bahwa ia tidak menerima adanya hukum pada
as}l. Misalnya, pakar Syafi'iyyah mengqiyaskan hukum wajib
mencuci bejana yang dijilat babi sebanyak tujuh kali pada hukum mencuci bejana
sebanyak tujuh kali apabila dijilat anjing; sesuai dengan sabda Rasulullah
saw.:
Apabila bejana seseorang di antara
kamu dijilat anjing, maka cucilah sebanyak tujuh kali, salah satu di antaranya
dengan tanah (H.R. Muslim dan al-Nasa'i dari Abu Hurairah).
Akan tetapi, pakar ushul Hanafiyyah,
Malikiyyah dan Zhahiriyyah mengeritik pakar ushul Syafi'iyyah dengan mengatakan
bahwa ketetapan hukum pada as}l itu tidak ada, karena hadis tersebut
merupakan hadits mud}t}arib dan hadis mud}t}arib tidak dapat
dijadikan landasan hukum. Ke-iththirab-an hadis tersebut, menurut
mereka, terletak pada bilangan mencuci bejana yang dijilat anjing tersebut,
yaitu ada hadits yang menyatakan tujuh kali, ada yang mengatakan lima kali, dan
dalam hadis lain dikatakan tiga kali.
2. Man'u wujud al-was}fi fi> al-as}l.
Maksudnya, seorang mujtahid tidak mengakui keberadaan sifat pada as}l tempat
mengqiyaskan. Misalnya, pakar ushul Syafi'iyyah dan sebagian pakar Malikiyyah
mengatakan bahwa tata urutan (tertib) dalam mencuci anggota wudhu adalah wajib
dan wudhu batal karena adanya hadas. Mereka mengqiyaskan wajibnya
tertib dalam berwudhu kepada tertib amalan yang dilakukan dalam salat, karena
keduanya sama-sama ibadah. Akan tetapi, pakar Hanafiyyah dan sebagian pakar
Malikiyyah mengemukakan kritikan bahwa sifat hadas\ dalam al-as}l, yaitu
salat, tidak ada, karena hadas\ itu sendiri, menurut mereka tidak
membatalkan salat. Yang membatalkan oleh hadas\ adalah t}aharah, sekalipun
dengan batalnya t}aharah membatalkan salat.
3. Man'u kaun al-was}fi 'illatan.
Maksudnya pengkritik mengatakan ia tidak menerima sifat yang dianggap sebagai ‘illah
itu sebagai ‘illah. Misalnya, pakar Hanafiyyah mengatakan, wanita
budak yang dimerdekakan orang merdeka mempunyai hak pilih [khiya>r] sebagaimana
berlaku pada budak yang laki-laki. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah saw
yang mengatakan :
Engkau bebas memiliki diri engkau,
maka pilihlah (bebas atau tetap sebagai budak) (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan
al-Daruquthni dari 'Aisyah). Akan tetapi, pakar ushul Malikiyyah mengatakan
kebebasan yang diberikan tuannya terhadap dirinya, bukan sebagai ‘illah untuk
bebas memilih bagi budak wanita tersebut.
4. Mu'arad}ah fi> al-as}l. Misalnya,
pakar ushul Syafi'iyyah
mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal pemberlakuan riba fad}l, karena keduanya mempunyai ‘illah yang sama, yaitu jenis makanan. Akan tetapi, pakar ushul Malikiyyah mengatakan bahwa "jenis makanan" bukanlah ‘illah, karena yang menjadi ‘illah pada gandum itu, menurut mereka adalah "makanan pokok" dan apel bukan sebagai makanan pokok. Namur pakar ushul Syafi'iyyah menjawabnya dengan mengatakan bahwa "jenis makakan" itu adalah ‘illah, karena disebutkan melalui cara al-i>ma>' dalam hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad ibn Hanbal dari Ma'mar ibn 'Abdullah.
mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal pemberlakuan riba fad}l, karena keduanya mempunyai ‘illah yang sama, yaitu jenis makanan. Akan tetapi, pakar ushul Malikiyyah mengatakan bahwa "jenis makanan" bukanlah ‘illah, karena yang menjadi ‘illah pada gandum itu, menurut mereka adalah "makanan pokok" dan apel bukan sebagai makanan pokok. Namur pakar ushul Syafi'iyyah menjawabnya dengan mengatakan bahwa "jenis makakan" itu adalah ‘illah, karena disebutkan melalui cara al-i>ma>' dalam hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad ibn Hanbal dari Ma'mar ibn 'Abdullah.
5. Mu'a>rad}ah wujud al-was}fi fi>
al-furu’. Maksudnya pengkritik menyatakan penolakannya terhadap kevalidan
suatu sifat yang dijadikan ‘illah pada as}l. Misalnya, pakar
Malikiyyah mengatakan memberi upah kepada orang lain untuk menghajikan
seseorang yang telah wafat adalah boleh, dengan alasan bahwa haji adalah suatu
pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain; sama halnya dengan tukang jahit yang
menerima upah jahitan baju. Akan tetapi, sebagian pakar Hanafiyyah tidak
menerima "suatu pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain" sebagai ‘illah
bolehnya mengupahkan mengerjakan haji kepada orang lain bagi seseorang yang
telah wafat. Namun, pakar Malikiyyah mengatakan bahwa sifat yang dijadikan
sebagai ‘illah itu terdapat dalam sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan
Abu Daud dan Ibn Majah dari Ibn 'Abbas. Ketika itu Rasulullah saw mendengar
seseorang membaca "labbaika 'an Subrumah." Lalu beliau
bertanya: "apakah engkau mengerjakan haji untuk dirimu sendiri?"
Orang itu menjawab: "Tidak, saya menghajikan Subrumah.".
6. Mu'arad}ah fi> al-far'u min ma>
yaqtad}i naqi>d} al-hukm. Maksudnya, pengkritik mengemukakan
bahwa terdapat pertentangan dalam furu’yang membawa kepada pembatalan
hukum as}l. Misalnya, pakar Syafi'iyyah mengatakan bahwa seseorang yang
berhutang, apabila mempunyai harta satu nis}a>b, wajib membayar zakat
dengan mengqiyaskan pada orang yang tidak berutang. 'Illatnya,
menurut mereka adalah sama-sama memiliki harta satu nis}a>b. Akan
tetapi, pakar Hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukakan kritikan mereka dengan
mengatakan bahwa terdapat pertentangan pada furu’ yaitu adanya hutang.
Oleh karena itu, hukum wajib zakat tidak bisa ditetapkan, karena dalam harta
itu terkait hak-hak orang yang memberi utang. Namun demikian, pakar
Syafi'iyyah mengemukakan bahwa "hutang" tidak bisa jadi mu'a>rid},
karena utang itu terkait dengan tanggung jawab, bukan pada materi harta.[16]
terima kasih anda copas artikel saya, tapi tolong sertakan linknya. lihat di http://www.abdulhelim.com/2012/09/qiyas-sebagai-salah-satu-metode-istinbath-hukum-Islam.html
BalasHapusAfwan akhi...
BalasHapus