Selasa, 05 Februari 2013

Metode Istinbath Hukum Islam

A. Pengertian Istinbat

Secara etimologi istinbath berarti penemuan, penggalian, pengeluaran (dari asal). Sedangkan hukum mempunyai arti hukum, peraturan dan kekuasaan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa istinbath hukum Al-Qur'an adalah menemukan dan mengambil hukum dari Al-Qur'an.
Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau potensi naluriyah.
Dari nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa (lughawiyah) yang biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak berbentuk bahasa, yang biasa disebut maknawiyah. Dalam pembahasan berikutnya akan kami jelaskan tentang pembagian masing-masing.

B.Istinbath Lafdzi

Yaitu mengistinbathkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Para ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab.

Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:
1) Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah terkenal serta telah menjadi kebiasaan dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari, yang mana Imam Syafi’i menyebutnya dengan Ilmu al-’Ammah. Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum (umum).
2) Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah. yang menurut Imam Syafi’i disebut ilmu al-khasshah.
3) Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.
Namun demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian kata-kata itu berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi haruslah oleh yang ahlinya dalam bahasa itu, dan mengerti tentang perkembangan pemakainnya di kalangan masyarakat.

C. Macam-macam Istinbath Lafdzi:

1. Khash
Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.
Hukum Lafadz Khash.
Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah qath’i bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. Oleh karena itu, apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau indikasi yang memalingkan dari hal itu.
2. ’Amm
Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ’amm tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular (tunggal). Para Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.” Hukum berhujjah dengan ’Amm:
Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh satuannya secar dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. Karena itu dikalangan ulama’ terkenal adanya kaidah :
”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).”
Jadi, tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum. Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau tidak.
3. Amr (perintah)
Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Bentuk Amr dan hakikatnya
Menurut Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para Fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i.
Golongan kedua, yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’ mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb (Sunnah).
Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunujukan maksudnya.
• Perintah sesudah larangan
Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi. Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibahah (Kebolehan).
• Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.
4. Nahi (larangan)
Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
Makna Sighat Nahi :
a. Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim, seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra’: 32) Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan pada karahah saja. Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu menunujukan kepada karahah (perbuatan yang dibenci). Alasan mereka larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan yang haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.
5. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinnya. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :
• Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
• Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad: Lafadz mutlaq dan muqayad, masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-nya. Karena itu apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaq-nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari muqayyad ke mutlaq.

D. Istinbath Maknawi

a) Makna Dhahir
Penjelasan tentang dhahir atau (dhahirud dalalah) adalah termasuk pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung di dalamnya.
Menurut para ulama ushul fiqh, dhahirud dalalah atau juga disebut dengan wadlihud dalalah ialah lafadh yang menunjukkan kepada ketegasan arti yang dimaksudkan secara jelas dalam lafadh itu sendiri, tidak tergantung kepada sesuatu hal di luar lafadh tersebut. Dengan kata lain, dhahirud dalalah adalah lafadh yang terang arti yang ditunjuki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadh itu.
Dilihat dari tingkat terangnya lafadh itu dalam menunjukkan kepada arti yang dimaksudkan, maka dhahirud dalalah adalah dibagi menjadi empat macam, sedangkan urutan tingkat empat macam tersebut dari yang terang kemudian yang lebih terang dan seterusnya meningkat kepada yang lebih terang lagi, adalah sebagai berikut : dhahir, nash, mufassar kemudian muhkam.
1. Dhahir
Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain, dan mungkin juga dimasukkan.
Hukum dhahir adalah wajib diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu kecuali ada dalil lain yang men-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadh mutlak harus diamalkan menurut mutlaknya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi) kemutlakan tersebut, dan jika dhahir itu berupa lafadh ’amm, maka harus diamalkan menurut keumumannya, sampai ada dalil lain yang men-takhsis-kan (mengkhususkan) berlakunya keumuman tersebut atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu sampai ada dalil yang me-mansukh-kannya.
2. Nash
Nash ialah suatu lafadh yang tidak mungkin mengandung pengertian lain, selain yang ditunjukkan oleh lafadh itu sendiri yang dapat ditakwilkan.
Sebagaimana hukum dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ada pada nash tesebut sampai ada dalil yang men-takwil-kan, yaitu kalau lafadh itu berupa lafadh mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil yang men-taqyid-kannya. Dan kalau nash itu berupa lafadh ’amm harus diamalkan atas keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadz tersebut sampai ada dalil yang me-mansukh-kan.
3. Mufasshar
Mufasshar ialah suatu lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud dengan disusunnya lafadh itu yang tidak mungkin di-takwil-kan kepada yang lain, akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa Rasulullah saw. Mufasshar dibedakan menjadi dua macam, yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.
a. Mufasshar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan
b. Mufasshar bighoirih, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
4. Muhkam
Muhkam ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan (dengan disusunnya) lafadh itu, dengan tidak mungkin ditakwilkan dan tidak dimansukhkan pada masa Rasulullah saw. Tidak di-mansukh-kannya muhkam, karena hukum-hukum yang tersebut merupakan hukum-hukum yang pokok dalam agama, seperti ibadah hanyalah kepada Allah swt dll.
b) Makna Khafi
Pembicaraan tentang khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud dalalah juga merupakan bagian dari pembiraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan. Khafiyud oleh para ulama ushul fiqh diartikan dengan : lafadh yang tertutup (tidak terang) aartinya, oleh karena itu keadaan lafadh itu sendiri atau karena hal-hal lain.
Para ulama membagi khafiyud dalalah menjadi empat macam, yaitu : Khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.


1. Khafi
Khafi ialah suatu lafadh yng terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya kepada sebagian lafadhnya tidaklah mudah memerlukan pemikiran yang mendalam.
Sebab timbulnya khafi, ialah karena adanya sebagian satuan yang terkandung dalam lafadh itu yang mempunyai nama tersendiri atau mempunyai nama tersendiri atau mempunyai sifat-sifat tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain.
2. Musykil
Musykil ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan, untuk menjelaskan maksudnya harus dibantu. Arti tidak mungkin diketahui kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskan maksudnya. Sebab terjadinya musykil yaitu, karena lafadh tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majazi, dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan. Atau terjadi pertentangan pemahamannya dengan pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan, kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskannya.
3. Mujmal
Mujmal ialah lafadh yang terang arti yang dimaksudkan oleh karena keadaan lafadh itu sendiri, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan dari syara’.
4. Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadh yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafadh itu sendiri dan tidak dapat qarinah yang menjelaskannya.

E. Fiqh Imam Abu Hanifah dan Metodologinya dalam Istinbat hukum
Fiqh Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiritersendiri dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya. Imam Asy Syafi’i berkata, “Semua orang dalam hal fiqh bergantung pada imam Abu Hanifah berkata, sungguh seorang yang ahli fiqh.”
Imam Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah dan jika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain. Dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin Al Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad”
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa manhaj Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbat hukum adlah sebagai berikut;
a. Alquran, merupakan sumber utama syari’at dan kepadanya dikembalikan semua hukum dan tidak ada sumber hukum satu pun, kecuali dikembalikan kepadanya.
b. Sunnah, sebagai penjelas kandungan Alquran , menjelaskan yang global dan alat dakwah bagi Rasuluiiah SAW dalam menyampaikan Risalah Tuhannya. Maka barang siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya ia tidak mengakui Risalah Tuhannya.
c. Pendapat Sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah SAW, lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadis, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW kepada umatnya.
d. Qiyas, beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Alquran atau sunnah atau ucapan sahabat, beliau menggali illat dan jika menemukannya ia akan mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan illat yang ditemukannya.
e. Al-Istihsan, yang meninggalkan qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan cara qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Ijma’, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ ini pernah ada setelah Rasulullah SAW.
g. Al-‘Urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada nash, baik dari Alquran, sunnah, atau pertbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah.


Kesimpulan
Jadi istinbat hukum adalah menemukan dan mengambil hukum dari dari nash yang ada. Di dalam Istinbat hukum terdiri dari Istinbat Lafdzi yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya dan Istinbat Maknawi yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi maknanya. Dan Manhaj dalam mengistinbat-kan hukum ada 7 ; Alquran, Sunnah, Pendapat Sahabat, Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, Al-‘Urf (adat istiadat).

Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Hukum Islam

Qiyas sebagai Salah Satu Metode Istinbath Hukum Islam



A.    Pengertian Qiyas
 
Dilihat dari segi bahasa qiyas yang berasal dari bahasa Arab ini berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. 
 قست الثوب بالذراعMisalnya,  yang berarti "saya mengukur baju dengan hasta. [1]
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para pakar ushul fikih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan Shadr asy-Syari'ah (w. 747 H/1346 M, tokoh ushul fikih Hanafi).
تعدّية الحكم من الأصل إلى الفرع لعلة متحدة لا تدرك بمجرد اللغة. [2]
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illah yang tidak dapat dicapai melalui hanya dengan pendekatan bahasa.
Maksudnya, 'illah yang ada pada satu nas sama dengan 'illah yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang pakar, dan karena kesatuan 'illah  ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hu­kum yang ditentukan oleh nas tersebut.
Mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
حمل غير معلوم على معلوم فى إثبات الحكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة.[3]
Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Saifuddin al-Amidi mendefinisikan qiyas dengan :

عبارة عن الإستواء بين الفرع والأصل فى العلة المستنبط من حكم الأصل [4]
Mempersamakan ‘illah yang ada pada furu’dengan ‘illah yang ada pada asa}l yang diistinbat}kan dari hukum as}al.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas de­ngan
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعى بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم[5]
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nas dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nas, disebabkan kesatuan ‘illah hu­kum antara keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dike­mukakan para pakar ushul fikih klasik dan kontemporer di atas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal [itsbat al-hukm wa Insya’uhu], melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum [al-kasyf wa al-izhhar li al-hukm] yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.[6] 
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illah dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘illah-nya sama dengan ‘illah hukum yang disebutkan dalam nas, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nas tersebut.
Misalnya, seorang pakar ushul fikih [mujtahid] ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi ‘illah diharamkannya khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat [5: 90-91]. Dengan demikian, pakar tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena ‘illah keduanya adalah sama, yakni memabukkan. Kesamaan illah antara kasus yang tidak ada nasnya. dengan hukum yang ada nasnya dalam Alquran atau Hadis, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang dimaksudkan para pakar ushul fikih bahwa penentuan hukum melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada pada nas, disebabkan kesamaan '‘illah anta­ra keduanya.
Dalam contoh lain, Rasulullah SAW bersabda :
لا يرث القاتل
Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan. (H.R. al-Nasa'i dan al-Baihaqi)
Menurut hasil penelitian pakar yang menjadi ‘illah tidak berhaknya pembunuh menerima warisan dari harta pewaris yang ia bunuh adalah upaya mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illah seperti ini terdapat juga dalam kasus seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya. Oleh karena itu, pembunuh orang yang berwasiat (al-was}i), dikenakan hukuman yang sama dengan hukum orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan harta wasiat.
B.    Rukun Qiyas
Para pakar ushul fikih menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: as}l [wadah hukum yang ditetapkan melalui nas atau ijma>’], far'u [kasus yang akan ditentukan hukumnya], 'illah  [motivasi atau alasan adanya hukum] yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada as}l, dan h}ukm al-as}l  [hukum yang telah ditentukan oleh nas atau ijma>’].[7]
1.       As}l  [الأصل], menurut para pakar ushul fikih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Alquran, hadis Rasulullah saw atau ijma’. Misalnya, pengharaman wisky dengan cara mengqiyaskannya kepada khamar. As}l itu adalah khamar yang telah ditetapkan hukumnya melalui nas. Menurut para pakar ushul fikih khususnya dari kalangan mutakallimin yang dikatakan al-as}l itu adalah nas yang menentukan hukum, karena nas inilah yang akan dijadikan patokan penentuan hukum furu>'. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan pada khamar, maka yang menjadi as}l menurut mereka adalah ayat yang terdapat pada Q.S. [5: 90-91];
2.       Far'u [الفرع] adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nas atau ijma' yang tegas dalam menentukan hukumnya sebagaimana wisky dalam kasus di atas.;
3.       ‘Illah [العلة] adalah sifat yang menjadi motif atau motivasi dalam menentukan hu­kum. Dalam kasus khamar di atas ‘illah-nya adalah memabukkan.
4.       H}ukm al-As}l  [حكم الأصل] adalah hukum syarak yang ditentukan oleh nas atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far'u, seperti keharaman meminum khamar. Adapun hukum yang ditetapkan pada far'u pada dasarnya merupakan buah [hasil] dari qiyas dan oleh karena itu tidak termasuk rukun.
C.    Kehujjahan Qiyas
Para pakar ushul fikih berbeda pendapat dalam memandang kehujjahan qiyas untuk digunakan dalam menetapkan hukum syarak. Mayoritas pakar ushul fikih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbat}kan hukum syarak,[8] bahkan lebih dari itu, sya>ri’ pun menuntut untuk melakukan qiyas.
Berbeda dengan Jumhur, para pakar Mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan hanya dalam dua hal :
1.       ‘Illah-nya harus mans}u>s} [disebutkan dalam nas] baik secara nyata maupun melalui isyarat. Misalnya, dalam suatu hadits Rasulullah :
Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban untuk kepentingan ad-da>ffah (para tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging kurban), sekarmg simpanlah daging itu. (H.R. Muslim, al-Nasai, at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibn Majah).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw secara tegas menunjukkan bahwa ‘illah dari perintah menyimpan daging kurban itu adalah untuk kepentingan masyarakat Badui yang miskin yang datang dari perkampungan mereka untuk meminta daging kurban. Ketika masyarakat Badui itu tidak membutuhkan lagi, maka Rasulullah saw mempersilakan untuk menyimpan daging itu lagi. Artinya ketika ‘illah hukum sudah hilang, maka hukum pun hilang.
2.       Hukum far'u harus lebih utama daripada hukum as}l. Misalnya, mengqiyaskan hukum memukul kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan "ah" kepada keduanya, karena keduanya sama-sama bersifat menyakiti bagi kedua orang tua. Dalam hubungan ini, menurut mereka, pemukulan lebih berat hukumnya dibanding dengan mengatakan "ah".
Para pakar hukum dari kalangan Z}ahiriyyah, termasuk Imam al-Syaukani [pakar ahli ushul fikih dari kalangan Syafi’iyyah] ber­pendapat bahwa secara logika, qiyas memang dibolehkan, tetapi tidak ada satu nas pun dalam ayat Alquran yang menyatakan wajib melaksanakannya.[9] Argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat mayoritas para pakar ushul yang mewajibkan pengamalan qiyas.
Ulama Syi'ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu'tazilah[10] menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
Setelah mengemukakan berbagai pendapat pakar ushul fikih tentang kehujahan qiyas, Wahbah al-Zuhaili[11] menyimpulkan bahwa pendapat itu bisa dipilah ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai metode atau dalil hukum yang dianut mayoritas pakar ushul fikih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai metode atau dalil hukum, yakni para pakar ushul Syi'ah, an-Nazza>m, Z}ahiriyyah dan ulama Mu'tazilah dari Irak.
Alasan penolakan qiyas sebagai metode atau dalil dalam menetapkan hukum syarak menurut kelompok yang menolaknya adalah :
a.       Firman Allah dalam Q.S. [49: 1] yakni :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul…
Ayat ini menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam Alquran dan Sunnah Rasul. Mempedomani qiyas, merupakan sikap beramal dengan sesuatu di luar Alquran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu hal ini dilarang. Selanjutnya dalam Q.S. [17:  36] disebutkan :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya
Ayat ini, menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Oleh karena itu, berdasarkan ayat tersebut dilarang mengamalkan qiyas. Dalam ayat lain, Q.S. [10: 36] Allah berfirman :
Sesungguhnya persangkaan [az}-z}ann] itu tiada berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran.
Menurut mereka, qiyas itu bersifat z}ann [persangkaan], dan tidak berguna jika digunakan untuk menetapkan hukum.
b.       Alasan-alasan mereka dari Sunnah Rasulullah saw, antara lain adalah sebuah riwayat yang mengatakan :
Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar,- Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu. [H.R. ad-Daruquthni]
Hadis ini, menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib, adakalanya haram, dan adakalanya hanya didiamkan, yang hukumnya berkisar antara dimaafkan dan mubah} [boleh]. Apabila diqiyaskan se­suatu yang didiamkan syarak kepada wajib, maka berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan.
c.       Mereka juga beralasan dengan sikap sebagian sahabat yang mencela qiyas, meskipun sebagian sahabat lainnya bersikap diam atas celaan sahabat tersebut. Hal ini, menurut mereka, menunjukkan bahwa para sahabat secara diam-diam sepakat (ijma>' suku>ti) untuk mencela qiyas. Umar ibn al-Khaththab sendiri pernah berkata, "Hindarilah orang-orang yang menge­mukakan pendapatnya tanpa alasan, karena mereka itu termasuk musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas. Kisah ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad yang menurut para pakar ha­dis periwayatannya munqat}i'  [terputusnya para penutur hadis].
Mayoritas para pakar ushul fikih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum syarak mengemukakan beberapa alasan, baik dari ayat-ayat Alquran, Sunnah Rasul, maupun dari ijma>'  logika. Alasan-alasan itu di antaranya adalah:
a.       Ayat yang mereka jadikan alasan adalah firman Allah dalam Q.S. [59: 2] :
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Menurut mayoritas pakar ushul fikih bahwa ayat ini berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadir kare4na buruknya sikap mereka terhadap Rasulullah saw. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai i’tiba>r [pelajaran]. Mengambil pelajaran dari satu peristiwa, menurut mayoritas pakar ushul adalah termasuk qiyas. oleh karena itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan i’tiba>r adalah dibolehkan, bahkan Alquran memerintahkan melakukan qiyas.
Firman Allah lainnya yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung ‘illah sebagai penyebab munculnya hukum tersebut. Misalnya dalam Q.S. [2: 179] :
Dan dalam qis}a>s} itu ada [jaminan kelangsungan] hidup bagimu….
Begitu juga dalam Q.S. [2: 222] :
Mereka bertanya kepadamu [Muhammad] tentang haid. Katakanlah “haid itu adalah kotoran. Oleh karena itu, hendaklah kamu menjawab diri dari wanita di waktu haid.
Dalam mengharamkan khamar, Allah berfirman dalam Q.S. [5: 91] :
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu) .
Seluruh ayat itu, menurut mayoritas pakar ushul fikih secara nyata menyebutkan ‘illah yang menjadi penyebab munculnya hukum. Inilah makna qiyas, yaitu ketika muncul suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nas, maka diwajibkan mencari ‘illah kasus tersebut untuk membandingkannya dengan ‘illah hukum yang ada dalam nas, dan apabila ternyata ‘illahnya sama, maka hukum yang ada dalam nas itu dapat diterapkan pada kasus tersebut.
Menurut mayoritas pakar ushul fikih yang membolehkan qiyas sebagai hujah dalam menetapkan hukum syarak, bukan berarti membuat hukum baru yang ditetapkan berdasarkan qiyas itu, tetapi menyingkap ‘illah yang ada pada suatu kasus dan menyamakannya dengan ‘illah yang terdapat dalam nas. Atas dasar kesamaan ‘illah ini, hukum kasus yang dihadapi tersebut disamakan dengan hu­kum yang telah ditentukan oleh nas.
b.       Alasan mayoritas pakar ushul fikih dari hadis Rasulullah saw di antaranya adalah riwayat dari Mu'adz ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu, Rasulullah saw mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qa>d}i [Hakim]. Rasulullah saw melakukan dialog singkat dengan Mu'adz, seraya bersabda :
''Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?" Mu'adz ibn Jabal menjawab, “Saya akan cari hukumnya dalam Kitabullah (Alquran).” Kemudian Rasulullah melanjutkan pertanyaannya, "Jika tidak kamu temukan hukumnya dalam Kitabullah?" Jawab Mu'adz, "Saya akan cari dalam Sunnah Rasulullah." Selanjutnya Rasulullah bertanya, Jika dalam Sunnah Rasulullah saw juga tidak engkau temukan hukumnya?" Jawab Mu Mu'adz, "Saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat saya." Lalu Ra­sulullah saw mengusap dada Mu'adz, seraya berkata, "Alhamdulillah tindakan utusan Rasulullah telah sesuai dengan kehendak Rasulullah." (H.R. Ah­mad ibn Hanbal, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Thabrani, al-Darimi dan al-Baihaqi).
Menurut mayoritas pakar ushul fikih, Rasulullah saw mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Dalam hadits lain Rasulullah saw juga menggunakan metode qiyas dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu ketika, seseorang menemui Rasulullah saw dan ia berkata :
"Ayah saya telah masuk Islam, dia seorang yang sudah sangat tua sehingga tidak mampu untuk mengendarai (unta) guna melakukan perjalanan dalam upaya melaksanakan ibadah haji yang diwajibkan. Apakah saya boleh menghajikannya?. Rasulullah berkata, "Engkau anak laki-lakinya yang terbesar?. Jawab laki-laki itu, "Benar." Kemudian Rasulullah berkata, “Bagaimana pendapat engkau, andaikata ayahmu itu mempunyai utang pada orang lain, lalu engkau akan membayarnya, apakah utang itu dianggap lunas?”. Lelaki itu menjawab, "Ya." Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika demikian, maka hajikanlah ayahmu itu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Nasa'i dari Ibn 'Abbas).
Dalam riwayat lain Umar ibn al-Khaththab suatu hari mendatangi Rasulullah saw seraya berkata, “Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar; saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
Bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal? Umar menjawab, “Tidak.” Lalu Rasulullah saw berkata, “Kalau begitu, kenapa engkau sampai menyesal”. (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar ibn al-Khaththab).
Mayoritas pakar ushul fikih menyatakan bahwa dalam kedua hadis di atas secara jelas Rasulullah saw menjawab permasalahan yang diajukan kepadanya dengan metode qiyas. Dalam masalah haji di atas, Rasulullah saw mengqiyaskan haji kepada kewajiban membayar utang. Dalam hadis Umar ibn al-Khaththab, Rasulullah saw mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur-kumur yang keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa.
c.       Alasan lain yang dikemukakan mayoritas pakar ushul fikih adalah ijma’para sahabat.
Dalam praktiknya, para sahabat menggunakan qiyas, seperti pendapat Abu Bakar tentang masalah kala>lah, yang menurutnya adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak laki-laki. Pendapat ini dikemukakan Abu Bakar berdasarkan pendapat akalnya, dan qiyas termasuk ke dalam pendapat akal.
Dalam sebuah kisah yang amat populer, Umar ibn al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari[12] ketika ia ditunjuk menjadi hakim di Bashrah, Irak. Dalam suratnya yang panjang itu Umar menekankan agar dalam menghadapi berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam nas, agar Abu Musa menggunakan qiyas [kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ahmad ibn Hanbal, dan ad-Daruquthni).
Menurut mayoritas pakar ushul fikih, baik terhadap pendapat Abu Bakar maupun terhadap sikap Umar ibn al-Khaththab di atas, tidak satu orang sahabat pun yang membantahnya.
d.       Secara logika, menurut mayoritas pakar ushul fikih, bahwa hukum Allah mengandung kemaslahatan untuk umat manusia dan untuk itulah disyariatkannya hukum. Apabila seorang mujtahid menemukan kemaslaha­tan yang menjadi ‘illah dalam suatu hukum yang ditentukan oleh nas dan terdapat juga dalam kasus yang sedang dicarikan hukumnya, maka mujtahid tersebut menyamakan hukum kasus yang dihadapinya dengan hukum yang ada pada nas tersebut. Dasarnya adalah ada kesamaan ‘illah antara keduanya.
D.    Syarat-Syarat Qiyas
Para ulama ushul fikih mengemukakan bahwa setiap rukun qiyas yang telah dipaparkan di atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qiyas dapat dijadikan metode atau dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu ada­lah sebagai berikut : [13]
1.     As}l
Patokan dalam penetapan hukum adakalanya nas dan adakalanya melalui ijma>'. Oleh karena itu, menurut mayoritas pakar ushul fikih, apabila hu­kum yang ditetapkan berdasarkan nas bisa diqiyaskan, maka hukum yang ditetapkan melalui ijma>' pun boleh diqiyaskan. Menurut Imam al-Ghazali [450-505 H/805-1111M] dan Saifuddin al-Amidi [keduanya pakar ushul fikih Syafi'iyyah], syarat-syarat as}l itu adalah :
a.    Hukum as}l itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinaskhkan [diganti atau dibatalkan];
b.    Hukum itu ditetapkan berdasarkan syarak;
c.    As}l  itu bukan merupakan dari as}l lainnya;
d.    Dalil yang menetapkan ‘illah pada as}l itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum;
e.    As}l  itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas, dan
f.     Hukum as}l itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.     H}ukm al-As}l
Menurut mayoritas pakar ushul fikih syarat-syarat h}ukm al-as}l adalah :
a.    Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far'u, misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan :
       Kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup. (H.R. Abu Daud, Ahmad ibn Hanbal, al-Hakim, at-Tirmidzi dan an-Nasa'i)
Ayat Alquran Q.S. [2: 282] menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki bersama dua orang wanita. Rasulullah saw melakukan hal yang berbeda dan menyatakan bahwa apabila Khuza­imah [sahabat] yang menjadi saksi, maka cukup sendirian. Hukum kesak­sian secara khusus ini tidak bisa dikembangkan dan diterapkan kepada far'u, karena hukum ini hanya berlaku untuk pribadi Khuzaimah. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi Rasulullah saw, seperti kawin lebih dari empat orang tanpa mahar.
b.    H}ukm al-as}l itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya, suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu. Menurut Wahbah Zuhaili hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu : [14]
1)    Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar [gair ma'qu>l al- ma'na>], seperti kasus kesaksian Khuzaimah di atas;
2)    Hukum itu merupakan hukum pengecualian yang disyariatkan sejak semula, seperti adanya rukhs}ah [keringanan hukum] bagi musafir untuk menjamak [mengqas}r] salat atau berbuka puasa untuk menghilangkan kesulitan atau seperti menentukan pembayaran diyat pembunuhan bagi al-'a>qilah [keluarga terdekat atau 'ashabah pembunuh].
c.    Tidak ada nas yang menjelaskan hukum far'u yang akan ditentukan hukumnya. Apabila h}ukm al-as}l mencakup hukum as}l pada satu pihak dan hukum far'u pada pihak lain, maka dalil yang mengandung h}ukm al-as}l juga merupakan dalil bagi hukum far'u itu. Dalam kasus seperti ini tidak diperlukan qiyas.
d.    H}ukm al-as}l itu lebih dahulu disyariatkan dari far'u. Dalam kaitan dengan ini, tidak boleh mengqiyaskan wudhu pada tayamum, sekalipun ‘illahnya sama. Hal ini disebabkan syariat wudhu lebih dahulu turun dari syariat tayammum.
3.     Far'u
Para ulama ushul fikih mengemukakan empat syarat yang harus diperoleh al-far'u, yaitu:
a.    ‘Illahnya sama dengan ‘illah yang ada pada as}l, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Contoh ‘illah yang sama zatnya adalah mengqiyaskan narkotika/narkoba, dan minum-minuman keras pada khamar, karena pada semuanya adanya zat yang dapat memabukkan, sehingga sedikit atau banyak diminum hukumnya haram. (H.R. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud, at-
Tirmidzi, Ibn Majah dan an-Nasa'i).
       Contoh yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qis}a>s} atas perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qis}a>s dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
Apabila antara ‘illah yang ada pada far'u tidak sama dengan ‘illah yang ada pada as}l, maka qiyas seperti ini menurut para pakar ushul fikih disebut al-qiyas ma'a al-fa>riq [القياس مع الفارق] yakni “qiyas yang bersifat paradoks].
b.    Hukum as}l tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum menz}iha>r [menyerupakan istri dengan punggung ibu] wanita  z\immi kepada menz}iha>r wanita muslimah  dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena keharaman hubungan suami istri dalam menz}iha>r istri yang muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kaffa>rat, sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus z\immi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani hukum mem­bayar kaffa>rat, dan kaffa>rat merupakan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah.
Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut pakar ushul Hanafiyyah, hukum as}l itu bisa berubah, dan ini
tidak boleh. Oleh karena itu, menz}iha>r istri yang berstatus z\immi
menurut pakar ushul Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi, menurut pakar ushul Syafi'iyyah, hukumnya sah karena orang z\immi boleh dikenakan kafarat.
c.    Hukum far'u tidak mendahului hukum as}l.  Artinya, hukum far'u itu harus datang kemudian dari hukum as}l.  Contohnya adalah dalam masalah wudhu dan tayammum di atas.
d.    Tidak ada nash atau ijma> '  yang menjelaskan hukum far'u  itu. Artinya  tidak ada nas atau ijma> '  yang menjelaskan hukum far'u  dan hukum itu tidak bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas  ketika itu bisa bertentangan dengan nas atau ijma>'. Qiyas yang bertentangan dengan nas atau ijma>', disebut para pakar ushul fikih sebagai qiyas  fa>sid  [قياس فاسد], yaitu qiyas  yang rusak. Misalnya mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas  ini bertentangan dengan nas dan ijma>'.
4.     Illah
Pembahasan mengenai syarat-syarat yang terkait dengan ‘illah akan dibahas tersendiri karena ‘illah di kalangan pakar ushul fikih dan persoalan yang menyangkut dengannya cukup luas.
E.    Pembagian Qiyas
Para pakar ushul fikih mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, yaitu : [15]
1.       Dilihat dari segi kekuatan 'illah yang terdapat pada furu>’ dibandingkan dengan yang terdapat pada as}l. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu :
a.       Qiyas al-Aula>wi> yaitu qiyas yang hukumnya pada
furu’lebih kuat daripada hukum as}l, karena 'illah yang terdapat pada furu’lebih kuat dari yang ada pada as}l. Misalnya, menggiya>skan memukul kepada ucapan "ah." Dalam Q.S. al-Isra>, [17: 23] Allah berfirman :
..jangan kamu katakan kepada keduanya (orang tua) kata-kata "ah"
Para pakar ushul fikih mengatakan bahwa 'illah larangan ini adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripa­da sekedar mengatakan "ah", karena sifat "menyakiti" melalui pukulan lebih kuat dari pada ucapan "ah."
b.      Qiyas al-Musa>wi>, yaitu hukum pada furu’sama
kualitasnya dengan hukum yang ada pada as}l, karena kualitas 'illah pada keduanya juga sama. Misalnya, Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa [2: 2] :
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu...
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar. Para pakar ushul fikih, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zhalim.
c.       Qiyas al-Adna> yaitu 'illah yang ada pada furu’lebih lemah dibandingkan dengan 'illah yang ada pada as}l. Artinya, ikatan 'illah yang ada pada furu’sangat lemah dibanding ikatan 'illah yang ada pada as}l. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fad}l, karena keduanya mengandung 'illah yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadis Rasulullah saw. dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fad}l. Dalam hadis tersebut di antaranya disebutkan gandum. [H.R. Bukhari dan Muslim]. Oleh karena itu, Imam Syafi'i mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fad}l. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum. karena 'illah  riba fad}l pada gandum lebih kuat.
2.       Dari segi kejelasan 'illah  yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi kepada dua macam :
a.       Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang 'illahnya ditetapkan oleh nas bersamaan dengan hukum as}l atau nas tidak menetapkan 'illahnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara as}l dengan furu>'. Contoh 'illah yang ditetapkan nas bersamaan dengan hukum as}l adalah mengqiyaskan memukul orang tua kepada ucapan "ah" yang ter­dapat dalam Q.S. al-Isra> [17: 23] yang telah disebutkan di atas, yang 'illahnya sama-sama menyakiti orang tua.
         Contoh 'illah yang tidak disebutkan nas bersamaan dengan hukum as}l adalah mengqiyaskan budak yang perempuan kepada budak yang laki-laki dalam masalah memerdekakan mereka. Antara keduanya, sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu perbedaan jenis kelamin. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa perbedaan ini tidak berpengaruh dalam hukum memerdekakan budak. Oleh karena itu, apabila seseorang mengatakan akan memerdekakan budaknya, maka pernyataan itu berlaku sama, baik untuk budak laki-laki maupun perempuan.
Contoh lain adalah dalam kasus kebolehan mengqas}ar salat bagi musafir laki-laki dan wanita. Sekalipun antara keduanya terdapat perbe­daan kelamin, tetapi perbedaan ini tidak berpengaruh atas kebolehan wanita mengqas}ar salat.
Para pakar ushul fikih menyatakan bahwa qiyas al-jali> ini mencakup qiyas al-aula>wi> dan qiyas al-musa>wi> dalam pembagian qiyas pertama di atas.
b.      Qiyas al-Khafi> yaitu qiyas yang 'illahnya tidak disebutkan dalam nas. Contohnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukuman qisa>s}, karena ‘illahnya sama-sama pembunuh­an sengaja dengan unsur permusuhan. Dalam kasus seperti ini, ‘illah pada hukum as}l yaitu pembunuhan dengan benda tajam, lebih kuat daripada ‘illah yang terdapat pada furu>', yaitu pembunuhan dengan benda keras. Qiyas al-adna> yang dikemukakan pada pembagian perta­ma termasuk ke dalam qiyas al-khafi> ini.
3.       Dilihat dari keserasian ‘illah dengan hukum, qiyas terbagi atas dua bentuk, yaitu :
a.       Qiyas al-Mu'as\s\ir yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara as}l dengan furu’ ditetapkan melalui nas sharih atau
ijma’atau qiyas yang 'ain sifat [sifat itu sendiri] yang menghubungkan as}l dengan furu’ berpengaruh pada hukum itu sendiri. Contoh, yang ditetapkan melalui nas atau ijma’ adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illah "belum dewasa." ‘Illah "belum dewasa" ini ditetapkan melalui ijma>’. Contoh, 'ain sifat yang berpengaruh pada 'ain hukum adalah mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari bahan selain anggur kepada khamar [dibuat dari anggur] dengan ‘illah sama-sama "memabukkan." ‘Illah "memabukkan" pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.
b.      Qiyas al-mula’im, yaitu qiyas yang ‘illah hukum as}lnya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya, mengqiyaskan pem­bunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam yang telah disebutkan di atas. '‘Illah pada hukum as}l  mempunyai hubungan yang serasi.
4.       Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya 'illah pada qiyas tersebut, qiyas dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu :
a.       Qiyas al-Ma'na> atau qiyas pada makna as}l, yaitu
qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan 'illahnya, tetapi antara asl dengan furu’tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan as}l. Misalnya, mengqiyaskan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang 'illahnya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zhalim sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b.      Qiyas al-'Illah, yaitu qiyas yang dijelaskan 'illahnya
dan 'illah itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum as}l. Umpamanya, mengqiyaskan nabi>z\ [minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur] kepada khamar, karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik pada as}l maupun pada furu’.
c.       Qiyas ad-dalalah yaitu qiyas yang 'illahnya bukan
pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi 'illah itu merupa­kan keharusan yang memberi petunjuk adanya 'illah. Misalnya, dalam kasus mengqiyaskan an-nabi>z\ kepada khamar dengan alasan "bau menyengat" yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan.
5.       Dilihat dari segi metode [masa>lik] dalam menemukan 'illah, qiyas dapat dibagi kepada :
a.       Qiyas al-Ikha>lah yaitu yang 'illahnya ditetapkan
melalui muna>sabah dan ikha>lah;
b.      Qiyas asy-Syabbah yaitu yang 'illahnya ditetapkan melalui metode syabbah;
c.       Qiyas as-Sibru yaitu yang 'illahnya ditetapkan melalui
metode as-sibr wa at-taqsi>m; dan
d.      Qiyas at}-t}ard yaitu yang 'illahnya ditetapkan melalui
metode t}ard. Contoh-contoh dari qiyas ini telah dikemukakan di atas.
F.     Kritik terhadap Qiyas
Para pakar ushul fikih mengemukakan beberapa kritikan atas kelemah-an qiyds dalam menghasilkan suatu hukum dari kasus yang sedang dihadapi. Kritikan terhadap qiyas tersebut, menurut Fakhruddin al-Razi [pakar ushul fikih Syafi'iyyah), ada empat bentuk. Menurut Ibn al-Hajib ada dua puluh lima bentuk, tetapi pada dasarnya bisa dikembalikan pada dua bentuk saja, dan asy-Syaukani mengemukakan dua puluh delapan bentuk. Akan tetapi, al-Bazdawi mengemukakan bahwa kritikan terhadap qiyas pada intinya ada dua segi, yaitu muma>na'ah dan mu’a>rad}ah. Di bawah ini akan dikemukakan tiga bentuk muma>na'ah dan tiga bentuk mu'a>rad}ah.
1.       Man'u al-hukm fi al-as}l. Maksudnya, seorang mujtahid mengemukakan kritik bahwa ia tidak menerima adanya hu­kum pada as}l. Misalnya, pakar Syafi'iyyah mengqiyaskan hukum wajib mencuci bejana yang dijilat babi sebanyak tujuh kali pada hukum mencuci bejana sebanyak tujuh kali apabila dijilat anjing; sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
          Apabila bejana seseorang di antara kamu dijilat anjing, maka cucilah seba­nyak tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah (H.R. Muslim dan al-Nasa'i dari Abu Hurairah).
          Akan tetapi, pakar ushul Hanafiyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah mengeritik pakar ushul Syafi'iyyah dengan mengatakan bahwa ketetapan hukum pada as}l itu tidak ada, karena hadis tersebut merupakan hadits mud}t}arib dan hadis mud}t}arib tidak dapat dijadikan landasan hukum. Ke-iththirab-an hadis tersebut, menurut mereka, terletak pada bilangan mencuci bejana yang dijilat anjing tersebut, yaitu ada hadits yang menyatakan tujuh kali, ada yang mengatakan lima kali, dan dalam hadis lain dikatakan tiga kali.
2.       Man'u wujud al-was}fi fi> al-as}l. Maksudnya, seorang mujtahid tidak mengakui keberadaan sifat pada as}l tempat mengqiyaskan. Misalnya, pakar ushul Syafi'iyyah dan sebagian pakar Malikiyyah mengatakan bahwa tata urutan (tertib) dalam mencuci anggota wudhu adalah wajib dan wudhu batal karena adanya hadas. Mereka mengqiyaskan wajibnya tertib dalam berwudhu kepada tertib amalan yang dilakukan dalam salat, karena keduanya sama-sama ibadah. Akan tetapi, pakar Hanafiyyah dan sebagian pakar Malikiyyah mengemukakan kritikan bahwa sifat hadas\ dalam al-as}l, yaitu salat, tidak ada, karena hadas\ itu sendiri, menurut mereka tidak membatalkan salat. Yang membatalkan oleh hadas\ adalah t}aharah, sekalipun dengan batalnya t}aharah membatalkan salat.
3.       Man'u kaun al-was}fi 'illatan. Maksudnya pengkritik mengatakan ia tidak menerima sifat yang dianggap sebagai ‘illah itu sebagai ‘illah. Misalnya, pakar Hanafiyyah mengatakan, wanita budak yang dimerdekakan orang merdeka mempunyai hak pilih [khiya>r] sebagaimana berlaku pada budak yang laki-laki. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah saw yang mengatakan :
          Engkau bebas memiliki diri engkau, maka pilihlah (bebas atau tetap sebagai budak) (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Daruquthni dari 'Aisyah). Akan tetapi, pakar ushul Malikiyyah mengatakan kebebasan yang diberikan tuannya terhadap dirinya, bukan sebagai ‘illah untuk bebas memilih bagi budak wanita tersebut.
4.       Mu'arad}ah fi> al-as}l. Misalnya, pakar ushul Syafi'iyyah
mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal pemberlakuan riba fad}l, karena keduanya mempunyai ‘illah yang sama, yaitu jenis makanan. Akan tetapi, pakar ushul Malikiyyah mengatakan bahwa "jenis makanan" bukanlah ‘illah, karena yang menjadi ‘illah pada gandum itu, menurut mereka adalah "makanan pokok" dan apel bukan sebagai makanan pokok. Namur pakar ushul Syafi'iyyah menjawabnya dengan mengatakan bahwa "jenis makakan" itu adalah ‘illah, karena disebutkan melalui cara al-i>ma>' dalam hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad ibn Hanbal dari Ma'mar ibn 'Abdullah.
5.       Mu'a>rad}ah wujud al-was}fi fi> al-furu’. Mak­sudnya pengkritik menyatakan penolakannya terhadap kevalidan suatu sifat yang dijadikan ‘illah pada as}l. Misalnya, pakar Malikiyyah mengatakan memberi upah kepada orang lain untuk menghajikan seseorang yang telah wafat adalah boleh, dengan alasan bahwa haji adalah suatu pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain; sama halnya dengan tukang jahit yang menerima upah jahitan baju. Akan tetapi, sebagian pakar Hanafiyyah tidak menerima "suatu pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain" sebagai ‘illah bolehnya mengupahkan mengerjakan haji kepada orang lain bagi seseorang yang telah wafat. Namun, pakar Malikiyyah mengatakan bahwa sifat yang dijadikan sebagai ‘illah itu terdapat dalam sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibn Majah dari Ibn 'Abbas. Ketika itu Rasulullah saw mendengar seseorang membaca "labbaika 'an Subrumah." Lalu beliau bertanya: "apakah engkau mengerja­kan haji untuk dirimu sendiri?" Orang itu menjawab: "Tidak, saya meng­hajikan Subrumah.".
6.       Mu'arad}ah fi> al-far'u min ma> yaqtad}i naqi>d} al-hukm. Maksudnya, pengkritik mengemukakan bahwa terdapat pertentangan dalam furu’yang membawa kepada pembatalan hukum as}l. Misalnya, pakar Syafi'iyyah mengatakan bah­wa seseorang yang berhutang, apabila mempunyai harta satu nis}a>b, wajib membayar zakat dengan mengqiyaskan pada orang yang tidak berutang. 'Illatnya, menurut mereka adalah sama-sama memiliki harta satu nis}a>b. Akan tetapi, pakar Hanafiyyah dan Malikiyyah mengemukakan kritikan mereka dengan mengatakan bahwa terdapat pertentangan pada furu’ yaitu adanya hutang. Oleh karena itu, hukum wajib zakat tidak bisa ditetapkan, karena dalam harta itu terkait hak-hak orang yang mem­beri utang. Namun demikian, pakar Syafi'iyyah mengemukakan bahwa "hutang" tidak bisa jadi mu'a>rid}, karena utang itu terkait dengan tanggung jawab, bukan pada materi harta.[16]


[1]Muhammad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Irsya>d al-Fuh}u>l, Beirut: Dar al-Fikr, Tth, h. 173. Muhammad Saifuddin al-Amidi, al-Ih}ka>m fi> Ushu>l al-Ah}ka>m, Jilid II, Beirut: Dar al-Kutb, al-Ilmiyyah, 1983, h. 2 .
[2]Ubaidillah ibn Mas’ud al-Bukhary Shadr asy-Syari’ah, Tanqi>h} al-Ushu>l, Jilid II, Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Baz, Tth, h. 52,  
[3]Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustas}fa> fi> ‘Ilm al-Ushu>l, Jilid II, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1983, h.  54.  
[4]Muhammad Saifuddin al-Amidi, al-Ih}ka>m fi> Ushu>l…, Jilid III, h.170 .
[5]Wahbah Zuhaili, Ushu>l al-Fiqh al-Isla>mi>, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, h. 601.
[6]Ali al-Zafzaf, Mud}a>rafa>h fi> Ushu>l al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1970, h. 8.
[7]Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustas}fa>…, Jilid II, h.  54. Muhammad Saifuddin al-Amidi, al-Ih}ka>m fi> Ushu>l…, Jilid III, h. 6. 
[8]Tajuddin Abdul Wahhab as-Subki, Jam’u al-Jawa>mi’, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1974, h. 177. Ibn Qudamah, Raud}ah an-Na>z}ir wa Junnah al-Muna>z}ir, Jilid II, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1978, h. 234.
[9]Asy-Syaukani, Irsya>d al-Fuh}u>l, h. 174-178.
[10]Abu Zahrah, Ushu>l al-Fiqh al-Ja’fa>ri, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, Tth, h. 290. Lihat juga Muhammad Taqy al-Hakim, al-Ushu>l al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqa>rin, Beirut: Dar al-Andalus, 1963, h. 357.   
[11]Abu Zahrah, Ushu>l al-Fiqh al-Ja’fa>ri, h. 610.
[12]Surat Umar ibn Khaththab kepada Abu Musa al-‘Asy’ary ini dibahas secara panjang lebar oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam I’la>m al-Muwaqqi.i>n ‘an Rabb al-A>lami>n, Jilid II ketika ia membahas persoalan qiya>s sebagai salah dalil atau metode dalam menetapkan hukum Islam.
[13]Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustas}fa>…, Jilid II, h.  87. Asy-Syaukani, Irsya>d al-Fuh}u>l, h. 179. Abdul Aziz al-Bukhary, Kasyf al-Asra>r fi> Ushu>l al-Bazdawi, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1982, h. 1021.
[14]Wahbah Zuhaili, Ushu>l al-Fiqh…, h. 638.
[15]Muhammad Saifuddin al-Amidi, al-Ih}ka>m fi>…, Jilid III, h. 63. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Irsya>d al-Fuh}u>l, h. 204. Ibn Hajib, Mukhtas}ar al-Muntaha>, h. 247. Abdul Qadir ibn Badran ad-Dimasyq, al-Madkhal ila> Maz\hab…, h. 141.

Negeri yang Diberkahi

Oleh : Rahmat Ilahi Asy-Syukry Dunia saat ini adalah dunia modern dengan segala macam bentuk teknologinya, berbagai macam teknologi dik...